Maryam Gila dan Kisah-kisah Lain
Oleh Radius Priatama
(Catatan dari Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI)
Seorang perempuan gila dari Aceh muncul di panggung Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI Medan. Segera kehadiran Maryam membuat Gedung Utama Taman Budaya Medan sontak. Tentu saja ini bukan perempuan gila betulan, tapi sebuah pertunjukkan teater yang disutradaraiListia Ulfa.
Maryam, judul drama tersebut, dipentaskan Teater Gemasastrin FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Unsyiah, pada Temu Teater Mahasiswa 25 Oktober silam dan berlangsung selama sepekan. Perhelatan ini dihadiri lebih 230 orang peserta dan diikuti 30 komunitas teater kampus se-Indonesia. Sekitar 30 peserta mewakili Aceh: Teater Nol Unsyiah, Teater Gemasastrin Unsyiah, Teater Rongsokan UIN Ar-Raniry, dan Teater ESA Atjeh.
Maryam (lakonnya ditulis Zahra Nurul Liza) berkisah tentang seorang perempuan yang menjadi gila akibat diguna-guna seorang pemuda di kampungnya. Tokoh Maryam (diperankan Agus Wardyanti) mengidap penyakit psikosis yakni gangguan kejiwaan di mana seseorang tidak mampu menilai realita karena ternoda halusinasi.
Kegilaan dan Realisme
Kondisi ini menyebabkan Maryam selalu merasa ketakutan dan dibayang-bayangi sosok suami yang sering menyiksanya. Maryam mewakili perempuan pada umumnya, salah satu di antara sepuluh perempuan korban kejahatan laki-laki.
Menggunakan tata panggung yang menggambarkan alam kampung yang berbatasan dengan hutan kecil; rumah berpagar kayu, dan guguran daun-daun kering, panggung tampak eksotis dan tenang. Tapi di keheningan perkampungan tersembunyi kisah yang memilukan. Sutradara mengemas pertunjukan ini menggunakan alur maju-mundur serta menggarap ide kegilaan secara realis.
Adegan dimulai kemunculan Maknu dan Taleb (masing-masing diperankan aktor muda Ichsan Mantovani dan Muhammad Rifki), mencari Maryam yang gila dan tersesat di hutan. Adegan mencari Maryam tak pelak mengundang gelak tawa penoton karena tingkah lucu dua pemuda kampung yang lugu. Kekonyolan dan perdebatan keduanya menjadi bumbu perbicangan menangkal larutnya malam.
Kekonyolan ini tak berlangsung lama. Ketika di babak kedua alur bergerak mundur, kejadian sebelum Maryam hilang di hutan. Babak ini menjelaskan apa yang dialami Maryam: seluruh hal tentang penderitaan. Seperti kemarahan, ketakutan, kesedihan dan rasa bahagia yang pernah menghinggapi hatinya. Maryam larut dalam fantasinya hingga orang kampung yang muak mendengar teriakan dan tangisnya menyuruhnya tinggal di hutan saja. Sutradara menyelesaikan babak ketiga, babak terakhir, dengan lebih memilukan, tatkala penonton mendapati Maryam terbujur kaku di hutan.
Pementasan yang berdurasi 40 menit ini mendapatkan tanggapan positif dari penonton, terbukti saat sesi diskusi dilaksanakan. Adapun kritik penonton tertuju pada penjiwaan
para aktor yang belum maksimal. Sudah bukan zamannya lagi menghibur penonton dengan kekonyolan, akan tetapi memperkuat perwatakan sebagaimana tuntutan naskah. Ilustrasi musik yang menyimpang juga menggangu konsentrasi penonton. Di lain pihak, pengadeganan yang tidak sederhana memaksa penonton mencerna cerita lebih keras.
Perbandingan
Saya mencatat pada hampir semua penampilan di Temu Teater XI di Medan, mengalami masalah sekurang-kurangnya pada dua hal: Keaktoran dan tata lampu. Lemahnya peran keaktoran menyebabkan pertunjukan terasa tawar dan kurang menggigit, padahal pesan-pesan dari setiap cerita yang disuguhkan cukup memikat. Misalnya Teater Latah Tuah (Riau) yang mementaskan “2NU”, berkisah tentang kehidupan orang-orang pulau. Pementasan naskah judul “2NU” menarik lantaran menggunakan konsep pengelompokan dengan jumlah pemain 25 orang. Adegan per adegan disuguhkan dengan tata musik dan lampu yang tepat. Namun lagi-lagi beberapa aktor utama justru mengganggu jalannya pertunjukan. Terlihat pada tokoh ibu dan anak yang sedang menunggu ayahnya pulang melaut, kedua aktor berperan dengan tingkat emosi yang tanggung dan terkadang berlebihan.
Selain itu, apa yang mengganggu adalah kesimpulan bahwa kepercayaan animisme yang masih kental di masyarakat tersebut ditengarai sebagai akibat lambatnya laju pembangunan dan perekonomian. Di luar takhayul dan makhluk halus, sutradara terkesan tidak berniat mempertimbangkan sebab lain, seperti hancurnya alam oleh kuasa korporasi dan modal.
Lain halnya dengan kelompok Sate Padang (Sumbar) yang mementaskan “Saridada(Ku)”. Sebuah cerita tentang seorang ibu rumah tangga melarat yang menjual air susunya. Lagi-lagi aktor bermain sangat monoton, padahal latar panggung realis yang menghadirkan sebuah rumah di lingkungan kumuh, tak terbantahkan lagi, menuntut aktor setidaknya dapat menghayati kekumuhan dan kekotoran. Sifat-sifat khas orang pinggrian inilah yang tidak hadir dalam pertunjukkan tersebut.
Justru kekumuhan hadir dalam bentuknya yang paling vulgar. Tokoh utama, sang ibu, histeris memegang payudaranya dan meremasnya setelah anaknya dirampas orang lain. Dalam sejumlah dialog kata “susu” yang diucapkan oleh beberapa tokoh perempuan selalu diadegankan dengan memegang payudara! Ini berlebihan dan, saya pikir, sutradara tidak mempercayai penonton untuk memahami apa yang terjadi di atas panggung. Jika pun adegan-adegan tersebut tidak divisualkan bagian itu barangkali akan terasa lebih dingin dan mengerikan.
Pada dasarnya seluruh pementasan pada Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI Medan memiliki macam-macam aspek yang cukup menarik untuk didiskusikan. Bagi para dramawan muda di Aceh beragam kisah dan model adaptasi yang telah disaksikan di Medan sudah seharusnya menjadi panggung bandingan yang penting. Ini adalah awal yang baik untuk memulai membuat karya yang layak tonton. Karya berbobot selalu lahir dari sejumlah perbandingan.
* Radius Priatama, pekerja teater dan bergabung di Teater MAE Banda Aceh.
#Sumber: Serambi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar