Dear

Kamis, 28 Februari 2013


Sosok wanita yang tegar, cantik, wibawa, dan ia juga mempunyai jiwa pemimpin yang teguh pada pendirian. Ia adalah seorang yang pandai menutupi kesedihan dengan senyuman mautnya itu. Seorang ketua Teater Gemasastrin ini mencoba menuangkan isi pikiran yang sangat mendalam tentang arti kebersamaan bersama orang yang kita cintai ke dalam jejak-jejak pena.
                             
kunyah cerpen berikut ini pecandu seni......
       
                                              Dear
        Sayang, kala malam memayungi dalam kegelapan dan rinai mulai turun menyerangi tubuhku hingga kedinginan, rinduku membuncah. Asa yang dulu pernah memburu, mengendap, dan kemudian menghasilkan benih-benih cintaku kepadamu. Uap-uap mengepul di jendela kamarku. Kutembus kaca buram yang dibasahi rintik hujan, menyelesuri bukit-bukit, sungai, dan sawah-sawah, hingga akhirnya tertumpu pada rumah mungil berwarna hijau dengan taman bunga yang juga mungil. Sejenak terpaku padanya, rumah idaman kita sayang.  Kau ingat tentunya, saat senja berwarna jingga kau begelayut mesra padaku. Kau ciptakan imajinasimu tentang segala hal. Kau buat mereka singgah di pikiranmu dan kau mainkan dia dengan kecerdasanmu. Hari berlalu hingga sewindu, dan akhirnya anganmu terbangun indah disebidang tanah yang subur hingga apapun yang kau tanam, tumbuh subur lalu kau ambil hasilnya dan kau masakkan untukku. Kau wanita sempurna yang ku temui, sayang.
***
            “ Mal, sampai kapan Mak harus berceramah panjang lebar sama kamu? Tak kau hargai ucap makmu ini?” Mak berdecak pinggang di hadapku. Sembari kumelihat garis-garis tua mulai menghiasi wajahnya. Beberapa helai rambut putih juga mulai memenuhi kepalanya. Mak terus menatapku. Aku terpaku pada lantai semen yang beku karena angin lalu. Ah, teringat akan dia, pujaanku. Terlalu lama aku memendam rasa, hingga akhirnya aku memuntahkannya di hadapan mak. Berharap mak akan setuju dengan pilihanku. Nyatanya, mak mulai sering menceramahiku.
            Malam membisu dalam balutan angin barat, kupejam mata, kunikmati setiap alunan musik alam yang terus menggoda. Terbayang kenangan manis bersamanya, gadis pujaanku Fatimah. Parasnya yang elok, sikapnya yang santun membuat malam-malamku gelisah. Kuhirup udara dalam-dalam, berharap rasa rinduku ini tetap terjaga. Aku takut angin jalang dari barat merebutnya. Rinduku padanya laksana air laut yang terus ingin menciumi bibir pantai. Tanpa batas. Malam terus berjingkrak, aku tetap bertahan pada arah yang berlawanan. Ingin selalu mendekati satu titik yang telah ku tetapkan, tapi titik-titik lain bermunculan. Membuatku rabun menemukan titik mana yang tadi kusimpan.
            Bulan mengintip dari celah awan yang berarakan, dia terlihat sempurna dengan cahayanya yang temaram. Kuucapkan kalimat syukur padaNya. Sungguh tak ada yang bisa menandingi maha karyaNya. Kulangkahkan kaki menuju tempat bersuci, Kubasuh diri dengan air suci, mengharap ridha dari Ilahi. Terasa ketentraman merasuki relung hati. Kubentangkan sajadah, kuhadapkan diri padaNya, mencari restu dari Ilahi, berharap doaku dikabuli. Rabbi, dalam sujudku nanti, aku ingin berserah diri padaMu yang suci.
            Kusambut mentari dengan segenap asa. Berharap semua akan berjalan dengan apa yang usai kutuliskan. Hari ini, mak meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Tentu tak kuharap itu. Aku terus mendesaknya, memburunya dengan pernyataanku tentang kamu. Kadang mak marah mendengarku selalu mengoceh tentangmu. Entahlah, mungkin aku terlalu membuatnya terjepit oleh rasa perih yang kutaburi tiap perjumpaanku dengannya. Kamu tahu, rasa ini terlalu membuatku tersiksa jika ia hanya mengendap di dalam sana. Terlalu membuatku terjerat dalam desahan yang berbalut bahasa rindu.
            Kutapaki jalan berbatu di kampungku, kulihat pematang sawah menghijau, orang-orangan telah penuh di tiap jejal tanah. Burung-burung pipit mengepak sayap, mendekat walau hanya Cuma melihat. Anak-anak petani itu sangat teliti, mereka siap dengan ketapel dan anak batu di tangan jika melihat kawanan burung pipit akan mendekat. Burung itu pun pergi dengan wajah pias, anak menangis menanti makan, namun apa yang harus dibawa? Anak petani itu lebih kuasa. Aku melihat mak di sana, tangannya bergerak cepat menyemai pupuk. Tak ada kelelahan di sana. Mak, kini aku telah beranjak dewasa, mencapai satu metamorfosis yang telah terlewati, bisikku.
            Senja mulai hadir dalam balutan warna merah merekah di ufuk barat. Semilir angin menebar aroma tanah yang basah didera hujan bulan juni. Nafas alam membaur dalam rongga pernafasanku. Kudapati mak sedang duduk di beranda rumah, wajahnya terlihat sumringah. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengatakannya. Kudekati ia dan kucium tangan yang selalu mengusap kepalaku dengan manja, “ Mak, saya sudah dewasa. Bukankah sudah saatnya saya..” kulihat mak berdiri, berjalan menuju tiang rumah, mak menghela nafas yang panjang, “ ya, kamu memang sudah dewasa dan sekarang kamu akan meninggalkanku sendiri. Mungkin sudah saatnya mak melepaskanmu.” Mak membuang pandangan, jauh melewati batas yang kukira. Ah, aku baru menyadari kalau mak tak ingin sendiri dan ia belum siap untuk itu. Egois, aku terlalu egois tanpa memikirkan perasaannya.
            Hari itu tiba, mak menciumiku berkali-kali, memelukku dengan sangat erat. Air matanya berderai dengan isak yang ditahan. Mak memberiku nasihat kemudian kembali mencium ubunku, rasa sayangnya menjalari tubuhku, kasih sayangnya begitu kentara. Hari itu mak terus saja di sisi kami. Angin berhembus membawa aroma kehangatan menyelinap ke dalam relung hati. Matahari mulai menuruni kaki langit bersembunyi di balik bukit dan kemudian meninggalkan warna jingga berbalut asa yang kian merekat.
            Fatimah, kini kamu menjadi milikku, mendampingi hidupku, dan menjadi ibu dari anak-anakku sungguh aku ingin melihat kamu seperti ibuku. Anganku terus bermain, menciptakan ruang gerak yang bebas hingga semua terlepas dari kendali. Sayang rindu ini terlalu membuncah menciptakan buih-buih yang bergemuruh. Kau dengar itu sayang? Kututup buku harianku dengan seulas senyum dan seuntai rindu yang kian membalut raga.
                                                                                                Prada Utama, 27 Oktober 2011
Karya: Listia Ulfa, Mahasiswa PBSI 09, aktif di Teater Gemasastrin




Share this article :

Similiar Templates

Tidak ada komentar:

Informasi

Diperkenankan mengambil isi di dalam blog ini dengan catatan "Jangan lupakan sumbernya"
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Teater Gemasastrin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger