Sosok wanita yang tegar, cantik, wibawa, dan ia juga mempunyai jiwa pemimpin yang teguh pada pendirian. Ia adalah seorang yang pandai menutupi kesedihan dengan senyuman mautnya itu. Seorang ketua Teater Gemasastrin ini mencoba menuangkan isi pikiran yang sangat mendalam tentang arti kebersamaan bersama orang yang kita cintai ke dalam jejak-jejak pena.
kunyah cerpen berikut ini pecandu seni......
Dear
Sayang, kala malam memayungi dalam kegelapan dan rinai
mulai turun menyerangi tubuhku hingga kedinginan, rinduku membuncah. Asa yang
dulu pernah memburu, mengendap, dan kemudian menghasilkan benih-benih cintaku
kepadamu. Uap-uap mengepul di jendela kamarku. Kutembus kaca buram yang
dibasahi rintik hujan, menyelesuri bukit-bukit, sungai, dan sawah-sawah, hingga
akhirnya tertumpu pada rumah mungil berwarna hijau dengan taman bunga yang juga
mungil. Sejenak terpaku padanya, rumah idaman kita sayang. Kau ingat tentunya, saat senja berwarna jingga
kau begelayut mesra padaku. Kau ciptakan imajinasimu tentang segala hal. Kau
buat mereka singgah di pikiranmu dan kau mainkan dia dengan kecerdasanmu. Hari
berlalu hingga sewindu, dan akhirnya anganmu terbangun indah disebidang tanah
yang subur hingga apapun yang kau tanam, tumbuh subur lalu kau ambil hasilnya
dan kau masakkan untukku. Kau wanita sempurna yang ku temui, sayang.
***
“ Mal, sampai kapan Mak harus berceramah panjang lebar
sama kamu? Tak kau hargai ucap makmu ini?” Mak berdecak pinggang di hadapku.
Sembari kumelihat garis-garis tua mulai menghiasi wajahnya. Beberapa helai
rambut putih juga mulai memenuhi kepalanya. Mak terus menatapku. Aku terpaku
pada lantai semen yang beku karena angin lalu. Ah, teringat akan dia, pujaanku.
Terlalu lama aku memendam rasa, hingga akhirnya aku memuntahkannya di hadapan
mak. Berharap mak akan setuju dengan pilihanku. Nyatanya, mak mulai sering
menceramahiku.
Malam membisu dalam balutan angin barat, kupejam mata,
kunikmati setiap alunan musik alam yang terus menggoda. Terbayang kenangan
manis bersamanya, gadis pujaanku Fatimah. Parasnya yang elok, sikapnya yang
santun membuat malam-malamku gelisah. Kuhirup udara dalam-dalam, berharap rasa
rinduku ini tetap terjaga. Aku takut angin jalang dari barat merebutnya.
Rinduku padanya laksana air laut yang terus ingin menciumi bibir pantai. Tanpa
batas. Malam terus berjingkrak, aku tetap bertahan pada arah yang berlawanan.
Ingin selalu mendekati satu titik yang telah ku tetapkan, tapi titik-titik lain
bermunculan. Membuatku rabun menemukan titik mana yang tadi kusimpan.
Bulan mengintip dari celah awan yang berarakan, dia
terlihat sempurna dengan cahayanya yang temaram. Kuucapkan kalimat syukur padaNya. Sungguh tak ada
yang bisa menandingi maha karyaNya. Kulangkahkan kaki menuju tempat bersuci,
Kubasuh diri dengan air suci, mengharap ridha dari Ilahi. Terasa ketentraman
merasuki relung hati. Kubentangkan sajadah, kuhadapkan diri padaNya, mencari
restu dari Ilahi, berharap doaku dikabuli. Rabbi, dalam sujudku nanti, aku
ingin berserah diri padaMu yang suci.
Kusambut mentari dengan segenap asa. Berharap semua akan
berjalan dengan apa yang usai kutuliskan. Hari ini, mak meninggalkanku tanpa
sepatah katapun. Tentu tak kuharap itu. Aku terus mendesaknya, memburunya
dengan pernyataanku tentang kamu. Kadang mak marah mendengarku selalu mengoceh
tentangmu. Entahlah, mungkin aku terlalu membuatnya terjepit oleh rasa perih
yang kutaburi tiap perjumpaanku dengannya. Kamu tahu, rasa ini terlalu
membuatku tersiksa jika ia hanya mengendap di dalam sana. Terlalu membuatku
terjerat dalam desahan yang berbalut bahasa rindu.
Kutapaki jalan berbatu di kampungku, kulihat pematang
sawah menghijau, orang-orangan telah penuh di tiap jejal tanah. Burung-burung
pipit mengepak sayap, mendekat walau hanya Cuma melihat. Anak-anak petani itu
sangat teliti, mereka siap dengan ketapel dan anak batu di tangan jika melihat
kawanan burung pipit akan mendekat. Burung itu pun pergi dengan wajah pias,
anak menangis menanti makan, namun apa yang harus dibawa? Anak petani itu lebih
kuasa. Aku melihat mak di sana, tangannya bergerak cepat menyemai pupuk. Tak
ada kelelahan di sana. Mak, kini aku telah beranjak dewasa, mencapai satu metamorfosis
yang telah terlewati, bisikku.
Senja mulai hadir dalam balutan warna merah merekah di
ufuk barat. Semilir angin
menebar aroma tanah yang basah didera hujan bulan juni. Nafas alam membaur
dalam rongga pernafasanku. Kudapati mak sedang duduk di beranda rumah, wajahnya
terlihat sumringah. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengatakannya. Kudekati
ia dan kucium tangan yang selalu mengusap kepalaku dengan manja, “ Mak, saya
sudah dewasa. Bukankah sudah saatnya saya..” kulihat mak berdiri, berjalan
menuju tiang rumah, mak menghela nafas yang panjang, “ ya, kamu memang sudah
dewasa dan sekarang kamu akan meninggalkanku sendiri. Mungkin sudah saatnya mak
melepaskanmu.” Mak membuang pandangan, jauh melewati batas yang kukira. Ah, aku
baru menyadari kalau mak tak ingin sendiri dan ia belum siap untuk itu. Egois,
aku terlalu egois tanpa memikirkan perasaannya.
Hari itu tiba, mak menciumiku berkali-kali, memelukku
dengan sangat erat. Air matanya berderai dengan isak yang ditahan. Mak
memberiku nasihat kemudian kembali mencium ubunku, rasa sayangnya menjalari
tubuhku, kasih sayangnya begitu kentara. Hari itu mak terus saja di sisi kami. Angin
berhembus membawa aroma kehangatan menyelinap ke dalam relung hati. Matahari
mulai menuruni kaki langit bersembunyi di balik bukit dan kemudian meninggalkan
warna jingga berbalut asa yang kian merekat.
Fatimah, kini kamu menjadi milikku, mendampingi hidupku,
dan menjadi ibu dari anak-anakku sungguh aku ingin melihat kamu seperti ibuku.
Anganku terus bermain, menciptakan ruang gerak yang bebas hingga semua terlepas
dari kendali. Sayang rindu ini terlalu membuncah menciptakan buih-buih yang
bergemuruh. Kau dengar itu sayang? Kututup buku harianku dengan seulas senyum
dan seuntai rindu yang kian membalut raga.
Prada
Utama, 27 Oktober 2011
Karya: Listia Ulfa, Mahasiswa
PBSI 09, aktif di Teater Gemasastrin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar