FIRASAT
Karya Zahran Zikra
“Kruk…kruk…kruk…”
Lagi-lagi
suara itu mengejutkan Lastri untuk kesekian malamnnya yang sepi. Tak ada yang
berkotek, selain bunyi-bunyi itu yang menghantui Lastri. Ia merasa ketakukan.
“Ya, mungkin itu hanya halusinasiku saja. Tapi kenapa firasatku
berkata lain? Hal itu sudah kabiasaan selama ini. Bahkan tetangga samping juga
pernah merasakan hal yang serupa. Orang kampung dan nenek pernah bercerita
padaku tentang suara-suara itu. Itulah yang sedang kualami malam
ini” Bergumam sendiri.
Lastri
masih menyelimuti seluruh badannya dengan selimut tebal itu. Sesekali ia
melihat jam yang selalu dipakainya hingga ia tidur. Perasaannya yang tak
menentu membuat malam-malamnya menjadi misteri yang perlu diungkapnya. Ingin rasanya Lastri keluar dari kamar dan melihat
apa yang terjadi. Namun, badannya terasa kaku untuk bergerak, apalagi untuk
keluar kamar. Di dalam selimut itu ia bersembunyi bersama ketakutannya.
“Menjauhlah ingatanku, aku tak ingin mengingatmu di
waktu malam.”
“Oh, apakah semua
pintu sudah kututup? Apakah dia bisa masuk lewat pintu belakang? Pintu
itu memang terbuat dari kayu, dan sekarang aku tidak pernah lihat kondisi pintu
itu. Mungkin sudah lapuk dimakan rayap.”
“Mungkin dia sedang mencoba membuka pintu itukah?
Apakah aku harus keluar untuk sekedar menyapanya?
Sudah
hampir seminggu Lastri tidak berjumpa dengannya. Lingkungan mereka telah
berbeda. Hal tersebut harus diterima Lastri dengan lapang dada. Arman, sudah
tidak lagi dengannya. Dia sudah pergi jauh meninggalkan Lastri karena tragedi
itu. Kejadian itu tidak dapat dielak oleh Lastri. Kini rasa rindu sedang
menyayati hati Lastri yang penuh pilu.
“ Arman, kaukah itu?” Tanya hatinya
“Apakah kau datang untuk memenuhi rindu yang telah
mendera batinku ini? Bisakah kita berjumpa di waktu siang saja? Aku tak ingin
menemuimu malam hari. Wajahmu akan terasa asing ketika malam hari” Lanjutnya.
“Kruk…kruk…kruk….”
Suara
itu datang lagi. Suara yang terdengar jauh, namun terasa dekat. Dekat dengan
Lastri. Dengan penuh kesiagaan, Lastri melihat lagi apakah pintu kamarnya telah
terkunci. Lalu, kembali lagi ia menyelimuti dirinya dan tidur di sebuah ranjang
tidur yang mewah itu. Ia hanya sendiri. Bahkan hanya sendiri di dalam rumah besar itu.
Ia tidak mau meninggalkan rumah yang telah dibangun
dengan keringat suaminnya sendiri. Anakpun belum dimilikinya. Ia sering bertanya-tanya
sendiri mau dibawa kemanakah rumah itu.
Belum
genap sebulan menikah. Ia sudah ditinggal suaminya karena sebuah tragedi yang
membuat Lastri benar-benar terpukul. Maut itu memang tidak bisa dihindari.
Mungkin suratan Ilahi sudah seperti itu adanya, pikir Lastri. Namun, ia tidak
dapat melupakan begitu saja peristiwa
itu. Hanya karena menginginkan sebuah kursi, suaminya telah mengorbankan apapun
yang dimiliki. Termasuk nyawanya sendiri. Itulah kecanduan yang sudah
merajalela di negara ini.
Penembakan
itu memang tragis. Mereka telah merampas suami Lastri. Tak ada yang menyangka
kejadian itu terjadi. Tiba-tiba pelor itu melesat kencang menembus kulit hingga
ke dalam jantung Arman, suami Lastri. Lalu, jantung itu tiba-tiba berhenti
berdetak. Seluruh aliran darah terhenti. Dan sesosok tubuh jatuh tergulai di samping
Lastri. Itulah suami Lastri yang tidak berdaya lagi ketika mereka hendak masuk
ke dalam rumah. Tepat di depan pintu
rumah sepasang pengantin baru itu.
Tidak
ada musuh, tak ada lawan, tak ada yang dibenci. Tiba-tiba ada orang yang
menembak Arman dari belakang. Modus kejahatannya dapat ditebak oleh Lastri,
karena pada siang harinya, Arman baru saja berkampanye di depan masyarakat agar
ia terpilih menjadi wakil rakyat. Lastri tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya terdiam
kaku, ketika melihat suaminya sudah tergulai di hadapannya. Sesaat warga
kampung datang melihat, dan mengurusi jenazah hingga ke pusara terakhir.
Embun
yang jernih itu mengalir deras dari sudut kelopak
mata Lastri. Tanpa ia sadari, ia telah tenggelam dalam
mimpi buruk selama beberapa hari. Mengingat kejadian itu, air matanya mengalir
kembali tanpa henti. Semenjak suaminya tiada, Lastri tak lagi keluar dari
rumahnya. Ia membiarkan dirinya terlarut dalam duka yang berkepanjangan. Dengan
kehadiran suara-suara misterius pada malam harinya, Ia percaya dengan suara
itu, bahwa Arman kembali ke rumah. Arman merindukan istrinya dan masakan yang
buat oleh Lastri.
“ Sudah beberapa hari aku tidak masak, bagaimana kalau
dia pulang untuk makan disini?” Ia berpikir lagi. Sudah tiga hari ia tidak
masak. Sudah tiga hari juga ia tidak makan nasi. Apabila ia merasa lapar, ia
hanya membuka kulkas, dan hanya makan makanan ringan untuk sekedar mengganjal perutnya. Itupun ia
lakukan hanya sekali. Selebihnya ia hanya meneguk air putih saja.
“Tidak… tidak… Dia tidak membutuhkan masakanku lagi.
Dia sudah bahagia di tempat lain.” Pikirannya Lastri semakin menjadi-jadi.
Lastri
yakin bahwa yang datang itu mendiang suaminya yang sudah merindukan Lastri.
Orang kampung pernah bercerita kepadanya bahwa seseorang yang dekat dengan kita
akan melihat kita atau sering
mengunjungi walaupun tidak secara langsung. Apalagi kasus seperti yang dialam
oleh Lastri. Arman yang merupakan suaminya pasti juga ingin mengunjunginya.
Tempat Arman meninggal pun di depan rumahnya sendiri. Jadi, wajar saja bila ia
datang setiap malam, pikir Lastri.
“Aku tak ingin bertemu denganmu, maafkan aku. Jangan
lagi kau menunggu di luar sana. Pulang lah! Istirahatlah dengan tenang.”
Lastri
terus memikirkan
Arman. Diapun heran kenapa hal itu bisa terjadi. Tidak mungkin orang yang telah
meninggal bisa seperti itu. Namun, ia pernah pergi ke tempat seperti kenduri
untuk arwah. Biasanya penghuninya membakar kemenyan, agar arwah yang dimaksud
datang. Tapi, kejadian yang menimpa Lastri, seorang janda yang baru ditinggal
mati suaminya itu berbeda.
“Kruk…Kruk…Kruk…”
Lastri
belum bisa tidur. Jarum jam yang melingkar di tangan Lastri masih berada pada
angka satu. Pagi masih lama. Ia belum
bisa tertidur di balik selimut tebalnya itu. Pikiran Lastri masih berfokus pada
suara di luar kamarnya tersebut. Jangankan untuk keluar kamar melihat apa
terjadi, untuk membuka selimut saja ia tidak berani. Lastri hanya menunggu bulan berganti dengan
matahari. Itu saja. Ia tida tidak bisa tertidur lagi setelah mendengar suara
itu.
Lama-kelamaan,
suara itu menghilang. Biasanya setiap 10 menit, suara itu hadir lagi. Tapi ini
sudah 20 menit, suara-suara itu tidak muncul lagi.
“Apakah dia telah keluar? Ataukah ia telah berhasil
masuk kedalam? Ataukah ia kecewa karena aku menutup rapat semua
pintu-pintunya?”
“Ya… Aku akan keluar untuk membukakan pintu untuknya.
Kasihan suamiku. Akan tetapi, dia telah memberikan rumah ini untukku sebagai hadiah dari pernikahan.
Ah, walau bagaimanapun, ini rumahnya. Masak dia tidak
kuperbolehkan masuk ke rumahnya sendiri” Pikir Lastri.
“Mungkin dia sudah masuk, dan berjalan menuju kamar.
Tidak!” Lastri semakin ketakutan. Ia
telah menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut, sehingga ia tidak bisa
melihat apapun. Namun, Ia mencoba memberanikan diri lagi. Lastri mulai mengintip sedikit demi sedikit dari balik selimutnya
itu.
Hanya sekejap saja, lalu ia menutup
lagi rapat-rapat selimutnya.
“Kruuk…kruuk…kruk…” Suara itu sudah terasa dekat dan
keras. Bahkan seperti menyatu ke dalam tubuhnya.
“Dia telah mencoba membuka pintu kamar sepertinya.
Tunggu apa lagi. Aku harus bangkit dan segera menemuinya. Aku ingin mengatakan
padanya Istirahatlah dengan tenang di alam sana.”
Lastri
mencoba memberanikan diri. Dia mulai menggerakkan tubuhnya yang sudah kaku itu
untuk keluar dari sarang selimutnya yang telah berhari-hari menjadi kediamannya
dan bangkit dari tempat tidur.
“ Jangan! Aku tidak mau. Dia akan merasa sedih setelah
melihatku seperti ini” Tapi perlahan-lahan, Lastri membuka selimutnya. Lalu
menggerakkan badannya untuk bangkit dari tempat tidur. Dengan mata yang sembab,
ia mulai bercermin dan merapikan
rambutnya.
Lastri
mulai mengayunkan langkah kakinya menuju pintu
keluar kamar hingga suara itu datang lagi untuk kesekian kalinya. Lastri
ingin mengakhiri malam-malamnya yang misterius itu. Baru dua langkah kaki yang
diayunkan, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Dalam keheningan, ia mencoba
memasang telinga baik-baik.
“Kruuk… Kruuk… Kruukk”
Suara
itu begitu dekat. Ia mendengar suara itu seperti dekat sekali. Dan menyatu di
dalam tubuhnya.Ya… ia baru sadar. Bunyi-bunyi itu datang dari dalam perutnya.
“Oh, sudah tiga hari aku belum makan” Hanya bergumam.
Angkatan 2013, di Teater Gemasastrin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar