Firasat

Jumat, 17 Oktober 2014


FIRASAT
Karya Zahran Zikra

 “Kruk…kruk…kruk…”

            Lagi-lagi suara itu mengejutkan Lastri untuk kesekian malamnnya yang sepi. Tak ada yang berkotek, selain bunyi-bunyi itu yang menghantui Lastri. Ia merasa ketakukan.
“Ya, mungkin itu hanya halusinasiku saja. Tapi kenapa firasatku berkata lain? Hal itu sudah kabiasaan selama ini. Bahkan tetangga samping juga pernah merasakan hal yang serupa. Orang kampung dan nenek pernah bercerita padaku tentang suara-suara itu. Itulah yang sedang kualami   malam ini” Bergumam sendiri.

            Lastri masih menyelimuti seluruh badannya dengan selimut tebal itu. Sesekali ia melihat jam yang selalu dipakainya hingga ia tidur. Perasaannya yang tak menentu membuat malam-malamnya menjadi misteri yang perlu diungkapnya. Ingin rasanya Lastri keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi. Namun, badannya terasa kaku untuk bergerak, apalagi untuk keluar kamar. Di dalam selimut itu ia bersembunyi bersama ketakutannya.




“Menjauhlah ingatanku, aku tak ingin mengingatmu di waktu malam.”

“Oh, apakah semua  pintu sudah kututup? Apakah dia bisa masuk lewat pintu belakang? Pintu itu memang terbuat dari kayu, dan sekarang aku tidak pernah lihat kondisi pintu itu. Mungkin sudah lapuk dimakan rayap.”
“Mungkin dia sedang mencoba membuka pintu itukah? Apakah aku harus keluar untuk sekedar menyapanya?

            Sudah hampir seminggu Lastri tidak berjumpa dengannya. Lingkungan mereka telah berbeda. Hal tersebut harus diterima Lastri dengan lapang dada. Arman, sudah tidak lagi dengannya. Dia sudah pergi jauh meninggalkan Lastri karena tragedi itu. Kejadian itu tidak dapat dielak oleh Lastri. Kini rasa rindu sedang menyayati hati Lastri yang penuh pilu.

“ Arman, kaukah itu?” Tanya hatinya

“Apakah kau datang untuk memenuhi rindu yang telah mendera batinku ini? Bisakah kita berjumpa di waktu siang saja? Aku tak ingin menemuimu malam hari. Wajahmu akan terasa asing ketika malam hari” Lanjutnya.

“Kruk…kruk…kruk….”

            Suara itu datang lagi. Suara yang terdengar jauh, namun terasa dekat. Dekat dengan Lastri. Dengan penuh kesiagaan, Lastri melihat lagi apakah pintu kamarnya telah terkunci. Lalu, kembali lagi ia menyelimuti dirinya dan tidur di sebuah ranjang tidur yang mewah itu. Ia hanya sendiri. Bahkan hanya sendiri di dalam rumah besar itu. Ia tidak mau meninggalkan rumah yang telah dibangun dengan keringat suaminnya sendiri. Anakpun belum dimilikinya. Ia sering bertanya-tanya sendiri mau dibawa kemanakah rumah itu.

            Belum genap sebulan menikah. Ia sudah ditinggal suaminya karena sebuah tragedi yang membuat Lastri benar-benar terpukul. Maut itu memang tidak bisa dihindari. Mungkin suratan Ilahi sudah seperti itu adanya, pikir Lastri. Namun, ia tidak dapat melupakan begitu saja  peristiwa itu. Hanya karena menginginkan sebuah kursi, suaminya telah mengorbankan apapun yang dimiliki. Termasuk nyawanya sendiri. Itulah kecanduan yang sudah merajalela  di negara ini.

            Penembakan itu memang tragis. Mereka telah merampas suami Lastri. Tak ada yang menyangka kejadian itu terjadi. Tiba-tiba pelor itu melesat kencang menembus kulit hingga ke dalam jantung Arman, suami Lastri. Lalu, jantung itu tiba-tiba berhenti berdetak. Seluruh aliran darah terhenti. Dan sesosok tubuh jatuh tergulai di samping Lastri. Itulah suami Lastri yang tidak berdaya lagi ketika mereka hendak masuk ke dalam rumah.  Tepat di depan pintu rumah sepasang pengantin baru itu.

            Tidak ada musuh, tak ada lawan, tak ada yang dibenci. Tiba-tiba ada orang yang menembak Arman dari belakang. Modus kejahatannya dapat ditebak oleh Lastri, karena pada siang harinya, Arman baru saja berkampanye di depan masyarakat agar ia terpilih menjadi wakil rakyat. Lastri tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya terdiam kaku, ketika melihat suaminya sudah tergulai di hadapannya. Sesaat warga kampung datang melihat, dan mengurusi jenazah hingga ke pusara terakhir.

            Embun yang jernih itu mengalir deras dari sudut kelopak mata Lastri. Tanpa ia sadari, ia telah tenggelam dalam mimpi buruk selama beberapa hari. Mengingat kejadian itu, air matanya mengalir kembali tanpa henti. Semenjak suaminya tiada, Lastri tak lagi keluar dari rumahnya. Ia membiarkan dirinya terlarut dalam duka yang berkepanjangan. Dengan kehadiran suara-suara misterius pada malam harinya, Ia percaya dengan suara itu, bahwa Arman kembali ke rumah. Arman merindukan istrinya dan masakan yang buat oleh Lastri.

“ Sudah beberapa hari aku tidak masak, bagaimana kalau dia pulang untuk makan disini?” Ia berpikir lagi. Sudah tiga hari ia tidak masak. Sudah tiga hari juga ia tidak makan nasi. Apabila ia merasa lapar, ia hanya membuka kulkas, dan hanya makan makanan ringan untuk sekedar mengganjal perutnya. Itupun ia lakukan hanya sekali. Selebihnya ia hanya meneguk air putih saja.

“Tidak… tidak… Dia tidak membutuhkan masakanku lagi. Dia sudah bahagia di tempat lain.” Pikirannya Lastri semakin menjadi-jadi.

            Lastri yakin bahwa yang datang itu mendiang suaminya yang sudah merindukan Lastri. Orang kampung pernah bercerita kepadanya bahwa seseorang yang dekat dengan kita akan melihat  kita atau sering mengunjungi walaupun tidak secara langsung. Apalagi kasus seperti yang dialam oleh Lastri. Arman yang merupakan suaminya pasti juga ingin mengunjunginya. Tempat Arman meninggal pun di depan rumahnya sendiri. Jadi, wajar saja bila ia datang setiap malam, pikir Lastri.
“Aku tak ingin bertemu denganmu, maafkan aku. Jangan lagi kau menunggu di luar sana. Pulang lah! Istirahatlah dengan tenang.”

            Lastri terus memikirkan Arman. Diapun heran kenapa hal itu bisa terjadi. Tidak mungkin orang yang telah meninggal bisa seperti itu. Namun, ia pernah pergi ke tempat seperti kenduri untuk arwah. Biasanya penghuninya membakar kemenyan, agar arwah yang dimaksud datang. Tapi, kejadian yang menimpa Lastri, seorang janda yang baru ditinggal mati suaminya itu berbeda.

“Kruk…Kruk…Kruk…”

            Lastri belum bisa tidur. Jarum jam yang melingkar di tangan Lastri masih berada pada angka satu. Pagi masih lama.  Ia belum bisa tertidur di balik selimut tebalnya itu. Pikiran Lastri masih berfokus pada suara di luar kamarnya tersebut. Jangankan untuk keluar kamar melihat apa terjadi, untuk membuka selimut saja ia tidak berani.  Lastri hanya menunggu bulan berganti dengan matahari. Itu saja. Ia tida tidak bisa tertidur lagi setelah mendengar suara itu.

            Lama-kelamaan, suara itu menghilang. Biasanya setiap 10 menit, suara itu hadir lagi. Tapi ini sudah 20 menit, suara-suara itu tidak muncul lagi.

“Apakah dia telah keluar? Ataukah ia telah berhasil masuk kedalam? Ataukah ia kecewa karena aku menutup rapat semua pintu-pintunya?”

“Ya… Aku akan keluar untuk membukakan pintu untuknya. Kasihan suamiku. Akan tetapi, dia telah memberikan rumah ini untukku sebagai hadiah dari pernikahan. Ah, walau bagaimanapun, ini rumahnya. Masak dia tidak kuperbolehkan masuk ke rumahnya sendiri” Pikir Lastri.

“Mungkin dia sudah masuk, dan berjalan menuju kamar. Tidak!”  Lastri semakin ketakutan. Ia telah menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut, sehingga ia tidak bisa melihat apapun. Namun, Ia mencoba memberanikan diri lagi. Lastri mulai mengintip sedikit demi sedikit dari balik selimutnya itu. Hanya sekejap saja, lalu  ia menutup lagi rapat-rapat selimutnya.

“Kruuk…kruuk…kruk…” Suara itu sudah terasa dekat dan keras. Bahkan seperti menyatu ke dalam tubuhnya.

“Dia telah mencoba membuka pintu kamar sepertinya. Tunggu apa lagi. Aku harus bangkit dan segera menemuinya. Aku ingin mengatakan padanya Istirahatlah dengan tenang di alam sana.”

            Lastri mencoba memberanikan diri. Dia mulai menggerakkan tubuhnya yang sudah kaku itu untuk keluar dari sarang selimutnya yang telah berhari-hari menjadi kediamannya dan bangkit dari tempat tidur.

“ Jangan! Aku tidak mau. Dia akan merasa sedih setelah melihatku seperti ini” Tapi perlahan-lahan, Lastri membuka selimutnya. Lalu menggerakkan badannya untuk bangkit dari tempat tidur. Dengan mata yang sembab, ia  mulai bercermin dan merapikan rambutnya.

            Lastri mulai mengayunkan langkah kakinya menuju pintu  keluar kamar hingga suara itu datang lagi untuk kesekian kalinya. Lastri ingin mengakhiri malam-malamnya yang misterius itu. Baru dua langkah kaki yang diayunkan, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Dalam keheningan, ia mencoba memasang telinga baik-baik.
“Kruuk… Kruuk… Kruukk”

            Suara itu begitu dekat. Ia mendengar suara itu seperti dekat sekali. Dan menyatu di dalam tubuhnya.Ya… ia baru sadar. Bunyi-bunyi itu datang dari dalam perutnya.

“Oh, sudah tiga hari aku belum makan” Hanya bergumam.

Angkatan 2013, di Teater Gemasastrin
Share this article :

Similiar Templates

Tidak ada komentar:

Informasi

Diperkenankan mengambil isi di dalam blog ini dengan catatan "Jangan lupakan sumbernya"
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Teater Gemasastrin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger